Tokoh Penyebar Ajaran Islam di Indonesia
Banyak tokoh, ulama dan sultan yang berperan aktif dalam penyebaran Islam di wilayahnya masing-masing.
a. Sultan Malik al-Saleh (1267 – 1297 M)
Meurah Silu atau Sultan Malik al-Saleh merupakan pendiri dan raja pertama Samudra Pasai (berdiri pada tahun 1267 M). Meurah Silu memeluk Islam berkat pertemuannya dengan Syekh Ismail dari Mekah. Setelah masuk Islam, Meurah Silu bergelar Sultan Malik al-Saleh, dan berkuasa selama 29 tahun. Kesultanan Samudra Pasai merupakan gabungan dari Kerajaan Peurlak dan Kerajaan Pase.
Sultan Malik al-Saleh merupakan tokoh penyebar Islam di Nusantara dan Asia Tenggara. Hal ini disebabkan oleh kuatnya pengaruh kekuasaan Samudra Pasai di bawah kepemimpinan Sultan Malik al-Saleh. Semasa berkuasa, sempat menerima kunjungan dari Marco Polo. Dan menurut catatan Marco Polo, Sultan Malik al-Saleh merupakan raja yang kaya dan kuat pengaruhnya.
Beliau wafat pada tahun 1297 M, dan kepemimpinan Samudra Pasai digantikan oleh Sultan Muhammad Malik al-Zahir (1297-1326 M). Sultan Malik al-Saleh dimakamkan di desa Beuringin Kecamatan Samudra, kira-kira 17 km sebelah timur Lhokseumawe. Di nisan Sultan Malik al-Saleh tertulis aksara Arab, yang terjemahnya “ini adalah makam almarhum yang diampuni, yang kuat dalam beribadah, sang penakluk yang bergelar Sultan Malik al-Saleh”.
b. Sultan Ahmad (1326 – 1348 M)
Beliau merupakan sultan Samudera Pasai yang ketiga, bergelar Sultan Malik al-Thahir II. Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Samudra Pasai dikunjungi oleh seorang penjelajah dari Maroko, yaitu Ibnu Batutah. Menurut catatan Ibnu Batutah, Sultan Ahmad sangat memperhatikan perkembangan dan kemajuan agama Islam. Beliau berusaha keras untuk menyebarkan ajaran Islam ke berbagai wilayah di sekitar Samudra Pasai.
c. Sultan Alaudin Riayat Syah (1538 – 1571 M)
Beliau merupakan sultan Aceh ketiga, terkenal sebagai peletak dasar-dasar kejayaan Kesultanan Aceh. Hubungan baik dengan Kesultanan Turki Utsmani dan kerajaan-kerajaan Islam lainnya menjadikan pemerintahannya semakin kuat. Bahkan militer Kesultanan Aceh terkenal handal karena mendapat bantuan dari Kesultanan Turki Utsmani.
Sultan Alaudin Riayat Syah berperan dan berjasa dalam penyebaran Islam di wilayah Aceh. Beliau mendatangkan ulama-ulama dari Persia dan India untuk mengajarkan agama Islam di Kesultanan Aceh. Setelah terbentuk kader kader pendakwah, selanjutnya dikirim ke daerah pedalaman Sumatera untuk menyampaikan ajaran Islam. Bahkan pada masa kepemimpinannya, ajaran Islam sampai ke Minangkabau dan Indrapura.
d. Wali Songo (1404 – 1546 M)
Wali Songo merupakan sembilan wali atau sunan yang menjadi pelopor penyebaran Islam di Pulau Jawa. Mereka adalah (1) Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), (2) Raden Rahmat (Sunan Ampel), (3) Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), (4) Raden Paku (Sunan Giri), (5) Syarifuddin (Sunan Drajat), (6) Raden Mas Syahid (Sunan Kalijaga), (7) Ja’far Shadiq (Sunan Kudus), (8) Raden Umar Said (Sunan Muria), (9) Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Mereka menggunakan berbagai saluran dakwah, di antaranya kebudayaan, kesenian, pendidikan, pernikahan, perdagangan, dan politik. Penyebaran Islam di seluruh wilayah Nusantara dipengaruhi oleh jalur perdagangan dari berbagai negara, seperti Persia, India, dan Arab. Selain berdagang, mereka juga berdakwah untuk menyebarkan ajaran Islam. Selain itu, proses dakwah Islam melalui pesantren yang digagas oleh Wali Songo sangat efektif untuk menyebarkan Islam ke pelosok pedesaan.
e. Sultan Alauddin
Sultan Alauddin, nama aslinya adalah I Manga’rangi Daeng Manrabbia, dinobatkan sebagai raja Gowa pada usia tujuh tahun. Beliau termasuk tokoh yang berjasa besar pada penyebaran Islam di Sulawesi Selatan. Beliau merupakan raja Gowa pertama yang masuk Islam bersama raja Tallo. Oleh karenanya, rakyat Gowa-Tallo secara bertahap memeluk agama Islam.
Penyebaran agama Islam pada masa pemerintahan Sultan Alauddin mencapai daerah Buton dan Dompu (Sumbawa). Termasuk berhasil mengislamkan kerajaan Soppeng, Wajo, dan Bone. Penyebaran agama Islam di Gowa juga atas perjuangan dakwah dari Datuk Ri Bandang (Abdul Makmur Khatib Tunggal), seorang ulama dari Minangkabau.
f. Datuk Tunggang Parangan
Datuk Tunggang Parangan atau Habib Hasyim bin Musyayakh bin Abdullah bin Yahya merupakan seorang ulama Minangkabau yang berdakwah di Kutai Kartanegara. Beliau berdakwah bersama sahabatnya, Datuk Ri Bandang pada masa pemerintahan Raja Aji Mahkota (1525 – 1589). Berkat dakwah Datuk Tunggang Parangan, akhirnya Raja Aji Mahkota memeluk Islam dan diikuti oleh keluarga kerajaan serta rakyat Kutai Kartanegara.
Kerajaan Kutai Kartanegara berubah nama menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara. Agama Islam berkembang pesat pada masa ini, bahkan undang undang negara berlandaskan pada ajaran Islam. Datuk Tunggang Parangan berdakwah di Kutai hingga akhir hayatnya. Setelah wafat, beliau dimakamkan di Kutai Lama, Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
g. Sultan Zainal Abidin
Beliau memerintah Kesultanan Ternate pada kurun waktu 1486-1500 M. Sejak usia belia, beliau mendapatkan pendidikan agama dari ayahnya, dan dari seorang ulama bernama Datuk Maulana Hussein. Setelah dinobatkan menjadidiikuti raja, beliau menjadikan Islam sebagai landasan resmi bernegara, hingga kerajaan Ternate berubah nama menjadi Kesultanan Ternate. Sultan Zainal Abidin berangkat ke Pulau Jawa pada tahun 1494 M untuk memperdalam ilmu agama di Pesantren Sunan Giri, Jawa Timur. Sekembalinya dari Jawa, beliau mengajak ulama-ulama terkemuka , di antaranya Tuhubahanul untuk membantu dakwah di seluruh Maluku.
Salah satu peran terpenting Sultan Zainal Abidin dalam penyebaran agama Islam adalah mendirikan pesantren-pesantren dengan pengajar yang didatangkan langsung dari Jawa. Selain itu, beliau juga mendirikan Jolebeatau Bobato Akhirat yang bertugas membantu Sultan dalam mengawasi pelaksanaan syariat Islam di Kesultanan Ternate. Akhirnya, gerakan islamisasi yang dilakukan oleh Sultan Zainal Abidin ini diikuti dan ditiru oleh raja-raja lain di Maluku Selain tokoh-tokoh di atas, masih banyak ulama yang berjasa menyebarkan agama Islam di Indonesia sejak abad ke-18 sampai masa kontemporer. Di antaranya adalah Abdul Sayyid Abdul Rahman Abdul Shamad al-Palimbani (berasal dari Palembang, Sumatera Selatan), Syaikh Mahfudz al-Termasi (berasal dari Termas, Jawa Timur), Syaikh Nawawi al-Bantani (berasal dari Banten), dan Syaikh Muhammad Yasin bin Isa al-Padani (berasal dari Padang, Sumatera Barat).
Ada juga ulama Indonesia yang bermukim di Makkah, yakni Syaikh Ismail al-Minangkabawi dan Syaikh Ahmad Khatib Sambas. Keduanya memiliki jasa besar terhadap penyebaran Islam di Nusantara melalui para muridnya. Murid murid tersebut adalah (1) Berasal dari Banten; Nawawi, Abdul Karim, Marzuqi, Ismail, Arsyad bin As’ad dan Arsyad bin Alwan. (2) Berasal dari Priangan; Mahmud dan Hasan Mustafa, (3) Berasal dari Batavia; Mujitaba, ‘Aydarus, dan Junayd. (4) Berasal dari Sumbawa; Umar dan Zainudin.
Ketiga belas ulama tersebut ada yang kembali ke Nusantara, adapula yang menetap (mukimin) di Haramain. Meskipun menjadi mukimin di sana, mereka tetap ikut andil dalam menyebarkan Islam di Indonesia.
Kebanyakan ulama yang disebutkan di atas merupakan penulis-penulis hebat dengan karya momumental. Karya para ulama tersebut ditulis dalam bahasa Arab, Melayu, Jawa, atau bahasa lokal lainnya. Dan saat ini banyak yang dicetak ulang di Indonesia. Di antara karya ulama-ulama Indonesia yaitu