Mensyukuri Nikmat
a. Pengertian Mensyukuri Nikmat
Ada 2 kata dasar yang digunakan, yakni: Syukur dan Nikmat. Syukur, menurut bahasa berarti membuka atau menampakkan. Lawan dari syukuradalah kufur yang berarti menutup dan menyembunyikan. Perhatikan Q.S. Ibrahīm/14: 7, yaitu:
Syukur merupakan bentuk keridhaan atau pengakuan terhadap rahmat Allah Swt. dengan setulus hati. Makna lainnya adalah pujian atau pengakuan terhadap segala nikmat Allah Swt. yang dibuktikan dengan kerendahan hati dan ketulusan menerimanya yang diwujudkan melalui ucapan, sikap, dan perilaku.
Sementara makna nikmat, menurut bahasa adalah pemberian, anugerah, kebaikan, dan kesenangan yang diberikan manusia, baik berupa rezeki, harta, keluarga, maupun segala kesenangan yang lain. Seringkali kita diingatkan oleh khatib atau dai, bahwa nikmat terbesar itu adalah Iman dan Islam, termasuk juga nikmat sehat wal ‘afiat.
Berdasarkan penjelasan tersebut, mensyukuri nikmat adalah berterima kasih kepada Allah Swt. atas segala nikmat yang telah dianugerahkan kepada kita. Caranya adalah menggunakan segala nikmat tersebut, sesuai dengan tujuan nikmat itu diberikan. Misalnya nikmat tangan, mata, dan kaki, semuanya digunakan untuk hal-hal yang benar menurut Allah Swt, bukan keinginan nafsu, syahwat, apalagi perbuatan maksiat.
Contoh tidak baik dilakukan umat Yahudi, yang dikisahkan oleh Al Qur’an (misalnya dalam Q.S. al-Baqarah/2: 49, dan Q.S. al-Qashas/28: 4), sebagai umat yang paling kufur nikmat. Bersama Nabi Musa a.s. umat Yahudi menikmati begitu banyak nikmat, khususnya nikmat keberhasilan menghadapi Fir’aun dan bala tentaranya yang menindas dan membunuh setiap anak laki-lakinya yang baru lahir. Lalu Allah Swt. menyelamatkan mereka, namun semua itu diingkari, bahkan di satu masa, sampai berani membunuh nabi mereka.
Melalui gambaran ini, kita sebagai umat Islam diingatkan, agar jangan menjadi umat yang kufur nikmat. Jadilah umat atau pribadi yang pandai mensyukuri nikmat (Q.S al-Baqarah/2: 152 dan 172). Sadar dan paham bahwa begitu banyak nikmat Allah Swt. yang sudah dianugerahkan kepada kita.
Hanya sayangnya, seringkali kita memahami nikmat itu hanya berupa harta benda, uang, dan fasilitas mewah lainnnya, padahal yang termasuk nikmat adalah hidup sehat, keluarga bahagia, menjalankan shalat secara istiqamah, terhindar dari segala cobaan, terhalang melakukan dosa dan kemaksiatan.
b. Perwujudan Syukur
Tidak terhitung banyaknya nikmat yang sudah kita terima (Perhatikan isi kandungan Q.S. Ibrahīm/14: 34), lalu bagaimana caranya mewujudkan bahwa kita menjadi pribadi yang bersyukur? Jawabannya adalah syukur harus dilakukan dengan 3 hal, yakni: melalui lisan, hati, dan anggota badan.
Pribadi yang bersyukur kepada Allah Swt., ditandai dengan pengakuan, kerelaan, dan kepuasan hati atas segala nikmat yang diterima, dilanjutan dengan lisan yang selalu mengucapkan syukur, misalnya banyak-banyak mengucapkan hamdalah dan kalimat-kalimat pujian yang disampaikan (Q.S. ad-Dhuhā/93: 11). Setelah itu, semua nikmat tersebut diwujudkan dan difungsikan oleh anggota tubuhnya dalam ketaatan hanya kepada Allah Swt.
Imam al-Ghazali membagi syukur itu, menjadi 3 bagian, yaitu: ilmu, hal (keadaan), dan amal (perbuatan). Melalui ilmunya, seseorang menyadari bahwa segala nikmat yang diterima itu semata-mata berasal dari Allah Swt. Keadaannya menyatakan kegembiraan. Selanjutnya, amal perbuatannya sesuai dan sejalan dengan fungsi nikmat tersebut diberikan.
Tersimpul bahwa, wujud syukur harus menyatu antara hati, lisan dan perbuatan. Bukan bersyukur yang benar, jika sering mengucapkan hamdalah, lalu hatinya masih belum puas dengan yang diterima, atau masih iri dan dengki dengan harta benda milik tetangga. Begitu juga, jika kalian memiliki akal yang cerdas, tetapi kelebihan itu hanya disimpan sendiri, tidak disebarkan kepada teman kalian yang masih membutuhkan bantuan dan bimbingan.
Jadi, pribadi yang bersyukur itu, ditandai menyatunya hati, lisan dan perbuatan. Tidak boleh terpisah, atau terpotong-potong, sehingga jika kesatuan itu dapat dilakukan, muncul kepribadian muslim yang utuh, bukan pribadi pecah yang hanya sesuai, misalnya antara lisan dan perbuatan, melupakan hati. Begitu juga, hati dan lisan menyatu, tetapi perbuatannya tidak sesuai.
c. Keuntungan Menjadi Orang Bersyukur
Penjelasan sebelumnya memberi hikmah kepada kita, agar kita menjadi pribadi yang pandai besyukur. Beberapa keuntungannya, dapat disebutkan berikut ini:
1. Jauh Lebih Produktif
Saat menghadapi problem, orang yang bersyukur, masih dapat memanfaatkan peluang yang tersisa, sekecil apapun, untuk menangkap peluang yang lain. Tidak menghabiskan waktunya untuk mengeluh dan sesal diri. Apa untungnya menyesali diri? Bangkit dari keterpurukan, itulah cara terbaik menghadapi problema.
2. Lebih Bahagia dan Optimis
Pribadi pesimis, hanya akan sibuk meratapi kegagalan dan nyinyir pada kesuksesan pihak lain. Sementara, orang yang bersyukur, emosinya stabil, dan itu menjadikannya lebih bahagia, sigap mencari solusi dan alternatif terbaik, dan melokalisasi persoalan, bukan melebarkannya, apalagi menyalahkan pihak lain. Semuanya, diambil hikmah dan pelajaran dari peristiwa yang terjadi.
3. Mafaatnya kembali ke Diri Sendiri
Coba kalian pikirkan berkali-kali. Dunia ini sudah jutaan atau ribuan tahun, tetapi rahmat dan kasih Allah Swt. masih tetap dilimpahkan ke seluruh makhluknya, dan semuanya tercukupi. Jika ada kelaparan di satu tempat, itu karena kesalahan pengelolaan, atau ada pihak lain yang mengambil berlebih dari yang semestinya.
Ambil contoh, di sebuah pesta pernikahan, betapa banyaknya makanan dan minuman tersisa yang akhirnya menjadi sampah, padahal masih banyak saudara kita yang mengais makanan dan belum bisa makan.
Hendaklah kita pahami bersama, berlimpahnya rahmat dan nikmat itu, tetap diberikan kepada mereka (boleh jadi orang beriman, atau orang-orang kafir) yang berbuat aniaya, lalim, dan ingkar kepada Allah Swt. Itu semua, tidak menghalangi Allah Swt. untuk menghentikan curahan rahmat dan nikmatnya kepada seluruh makhluk.
Jadi, kembali kepada kalian semua. Jika kalian menjadi hamba yang bersyukur, maka manfaat dan maslahatnya, kembali ke Anda sendiri. Sebaliknya, jika kalian kufur, maka tunggulah kegagalan dan kesengsaraan dunia, apalagi pedihnya neraka, akan kalian rasakan sendiri (Q.S. Ibrahīm/14: 7).
Allah Swt. juga berfirman: