Urgensi dan Kedudukan Ijtihad
Setiap muslim pada dasarnya diharuskan untuk berijtihad dalam semua bidang hukum syari’ah, asalkan dia sudah memenuhi syarat dan kretiria seseorang mujtahid.
Masalah-masalah yang menjadi lapangan Ijtihad adalah masalah-masalah yang bersifat zhanny, yakni hal-hal yang belum jelas dalilnya baik dalam Al-Qur’an maupun al-Hadis. Para ulama’ membagi hukum melakukan ijtihad menjadi tiga bagian yaitu:
1) Wajib ‘ain, bagi orang yang diminta fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang terjadi dan dia khawatir peristiwa itu akan lenyap tanpa ada kepastian hukumnya atau ia sendiri mengalami suatu peristiwa dan ia ingin mengetahui hukumnya.
2) Wajib kifayah, bagi orang yang diminta fatwa hukum yang dikhawatirkan lenyap peristiwa itu sedangkan selain dia masih terdapat para mujtahid lainya. Maka apabila kesempatan mujtahid itu tidak ada yang melakukan ijtihad, maka semua berdosa tetapi bila ada seorang dan mereka memberikan fatwa hukum, maka gugurlah tuntutan ijtihad atas diri mereka.
3) Sunnah, apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang belum atau tidak terjadi.
Ketiga hukum tersebut sebenarnya telah menggambarkan urgensi upaya ijtihad, karena dengan ijtihad dapat mendinamisir hukum Islam dan mengkoreksi kekeliruan dan kekhilafan dari ijtihad yang lalu. Lebih lanjut, ijtihad merupakan upaya pembeharuan hukum Islam yang belum pernah disinggung oleh ulama’ terdahulu, sedangkan masalah yang sudah diijtihadi pada masa lalu tidak perlu diperbaharui. Sabda Nabi Muhammad Saw,” Sesungguhnya Allah mengutus pada umat ini disetiap penghujung periode (seratus tahun) seseorang yang mempebaruhi agamanya”.
Meskipun demikian, tidak semua hasil ijtihad merupakan pembeharuan bagi ijtihad yang lama, sebab ada kalanya hasil ijtihad yang baru sama dengan hasil ijtihad yang lama, bahkan sekalipun berbeda hasil ijtihad baru tidak bisa merubah status ijtihad yang lama, hal itu seiring dengan kaidah faqhiyah “al-ijtihadu ia yanqudlu bi al-ijtihadi” (ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad pula).
Selanjutnyaa, urgensi upaya ijtihad dapat dilihat dari fungsi ijtihad itu sendiri yaitu:
1) Fungsi al-Ruju’ (kembali), mengembalikan ajaran-ajaran Islam kepada Al-Qur’an dan Sunnah dari segala interpretasi yang mungkin kurang relevan.
2) Fungsi al-Ihyl (kehidupan), menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan semangat Islam agar mampu menjawab tantangan zaman.
3) Fungsi al-Inabah (pembenahan), membenahi ajaran-ajaran Islam yang telah diijtihad oleh ulama’ terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalahan menurut konteks zaman dan kondisi yang dihadapi.
Begitu pentingnya melakukan ijtihad, sehingga Jumhur Ulama’menunjukkan ijtihad menjadi hujah dalam menetapkan hukum berdasarkan Firman Allah surat an-Nisa’: 59 “Jika kamu mempersengketakan sesuatu maka kembalikanlah sesuatu tesebut kepada Allah dan Rasul-Nya”.